Minggu, 14 Juli 2013

Spartacus; catatan seorang penonton


"...tak ada yang lebih indah selain mati sebagai orang merdeka..."-Spartacus
Hegemoni pengetahuan mungkin akan begitu membesar-besar Roma zaman kuno Marcus Crassus, Julius Caesar, dan penguasa Pompey merupakan segelintir pemimpin yang memiliki nama besar di teks sejarah sekolahan, berbagai kebesarannya di umbar, serta kekuatan perang yang maha dahsyat. Tapi ada sosok yang di lupakan dunia dalam sejarah kerajaan Roma. Sebuah "nabi" bagi kaum budak sekaligus sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan. "Spartacus" sebuah nama yang di berikan oleh tuan-nya "Batiatus" sendiri yang bermakna "sang pembawa hujan". Menyaksikan filmnya, ibarat larut dalam pertarungan spaktakuler, adegan seks serta kematian sadis seolah menambah (ke)original(an) film ini, latar belakang yang menyerupai film glatiator 300. 
Film dengan durasi panjang ini (kurang lebih 24 jam dengan 4 bagian) seolah membawa kita pada alur sejarah yang tak maenstream, kedudukan budak yang dulunya hanya menjadi lahan eksploitatif berbagai kekejaman rakyat Roma, oleh Spartacus coba di labrak. Mulai dari kekuatan kecil dari wilayah Thracia hingga direklut sebagai gladiator handal di kediaman Batiatus di sekitaran wilayah Capua menjadi proses panjang perebutan kemerdekaan ini. Berawal dari kematian istri tercinta Sura, yang seolah mengubah alur hidupnya. Spirit (Sura)isme kemudian terus di pupuk sebagai ajang balas dendam hingga menjadi idelogi pembebasan kaum budak. Pada aspek organisir perlawanan Spartacus sangatt padu, membangun kekuatan dari bawa. memetakan kekuatan yang kala itu terdiri dari dua kubu, proses lobi dari lawan menjadi kawan, serta bargaining position yang nyaris tanpa cela. Hal ini bisa menjadi contoh gerakan mahasiswa di bangsa kita.
Menariknya Spartacus di lakonkan sebagai nabi yang berpaham "freewil" tak percaya dewa, dan berkeyakinan bahwa hanya usaha dengan tangan sendiri-lah yang kelak menuai hasil, bukan dengan doa-doa untuk sang dewa. Kebebasan harus di rebut dengan darah melimpah di bumi Capua, ungkapan yang sering di ulangi Spartacus guna membakar semangat pengikutnya. Bak seorang Nabi, kebijaksanaa dan karakter kepemimpinan yang akomotadif menjadi instrumen penting perlawanan. 
Konon awal perlawan kaum budak di mulai dari gerakan ini, bacaan sejarah yang tak lagi (di ingat) kembali di ceritakan dalam film ini. Kemapanan Roma sebagai kekuatan besar dulunya seolah menjadi  anti thesa pada film ini. Kompleksifitas cerita mulai dari kapitalisme, sosialisme, seksualitas, eksploitatif, organisir massa, imajinasi, serta banyak hal lagi yang di muncul di film ini. Meski sedikit kecewa di akhir cerita dengan purnya Spartacus di hadapan prajurit biasa, tidak akan mengurangi ketengan film ini. Anda akan di bawa berfantasi jauh di masa zilam, menemani Spartacus, Gannicus (gladiator pertama yang mendapatkan kemerdekaannya setelah menjadi pemenang di arena dan generasi I sebelum spartacus menjadi budak), Crixus (pemenang arena generasi II), Agron, Naevia, Oenamous, Nasir, Barca, Lucretia, Lythia, Glaber, Doctore,   Azur, dan semua budak merebut kemerdekaan, sekaligus mebaca sejarah sedemikian kritis. 
Film dengan kekuatan imajinasi yang kuat, bahkan menurut Penulis sendiri film terbaik yang pernah di lihat, membawa sejuta pesan. Kesetiaan cinta kepada Sura "sang istri", perlawan atas ketertindasan, organisasi gerakan yang luar biasa, perjuangan hidup yang berdarah-darah, serta berbagai pesan hidup bagi penonton akan menjadi oase penting di kehidupan kita. Menyaksikan Spartacus seolah sedang menamatkan buku, menyaksikannya seolah sedang meng-amini segala  bentuk perlawanan kaum mustadh'afin. Hiduplah kembali sang nabi yang terlupakan, ajari kami makna kebebasan seutuhnya, perlawan selalu menjadi jihad untuk kemanusiaan yang semoga semakin cerah, semoga ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar