Minggu, 14 Juli 2013

Ramadhan dan sekelumit topeng

Harus di akui bahwa dalam setahun ada sebulan yang di jalani masyarakat muslim di semua belahan dunia tak terkecuali Indonesia sebagai mayoritas Islam, melakukan transformasi spritualitas yang agak berbeda dengan hari-hari lainnya. Bulan itu di sebut ramadhan. Istilah bulan berkah penuh ampunan menjadi simbol yang sering kita dapati, memang sebagai muslim moment seperti ini selalu menjadi hal yang terindukan. Lipatan pahala serta segala macam bentuk kesalehan sosial maupun individu menjadi rutinitas yang akan di jumpai. Hal ini kemudian menjadi habitus oleh sejumlah orang yang tidak mau melewatkan keberkahan bulan seperti ini. Bisa anda saksikan begitu banyak tumpukan sendal yang menghiasi mesjid tiap malamnya, terutama di awal-awal ramadhan. Belum lagi sejumlah kemurahan hati untuk melakukan buka puasa bersama dengan mengharapkan pahala sama seperti orang yang berpuasa yang di beri makan.

Tapi takkala keberkahan Ramadhan kemudian tereduksi oleh sejumlah perilaku dalam interaksi ruang-ruang sosial. Banyak hal yang bisa kita temukan praktek-praktek keagamaan yang begitu kuat pada wilayah simbol tapi memiliki kedangkalan, sejumlah topeng kemudian di pakai agar justifikasi saleh bisa di dapatkan. Memang dalam pergulakan di wilayah sosial jebakan image menjadi hal yang terkadang perlu di perhatikan. Bagaimana kemudian kita lebih mementingkan kulit ketimbang isinya. Dalam pandangan mazhab interaksionalisme simbolik ada yang di sebut "dramaturgi" yang di populerkan oleh Erving Goffman (seorang sosiolog kelahiran Canada) bahwa menurut beliau kala manusia itu berada pada dua saat, yang pertama di sebut front region (panggung depan), kala inilah yang kemudian seseorang memainkan peranya dengan mengunakan topeng-topeng untuk menyelamatkan citranya dalam kaitannya dengan masyarakat luas. Sejumlah kepalsuan bisa saja di lakukan guna pencapai sosok ideal menurutnya. saat kedua di sebut back stage (belakang panggung), ini merupakan cerminan sikap asli dari individu dan biasanya hal ini hanya akan muncul ketika berada dalam lingkungan yang intim.Dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan nan berkah ini, sejumlah aksi maupun reaksi yang di lakukan oleh insan-insan yang seolah berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga bisa jadi dapat kita jumpai bagaimana dramaturgi ini dimainkan secara sistematis. Hal ini perlu juga kita analisis kaitannya dengan kepentingan politik 2014 yang meledak jumlah caleg dengan antrian panjang, seolah semua orang tak mau lagi jadi bawahan, mentalitas instan dalam berproses, maka jalan cepatnya adalah menyebarluaskan kepalsuan belaka semata dengan tidak di imbangi modal sosal serta akuntabilitas. Mengingat kultur masyarakat kita yang bercirikan ke-timur-an ini sangat mudah di kerus simpatinya dengan mengangkat tema-tema spiritualitas. Ada pula perilaku ABG yang kadang megundang pilu dengan sejumlah perilaku hedonisnya, seolah Ramadhan ini adalah bulan memadu kasih bersama lawan jenis di kala pagi dan malam dengan melempar sejuta pesona di jalan raya mirip pelacur tak laku.

Belum lagi kita temukan ada segelintir oknum yang mirip pendakwah (baca: pelawak mimbar) yang seolah memiliki otoritas penuh dalam penentuan kafir tidaknya seseorang. kutip mengutip ayat, hadits, atau sekedar apologi dangkal dengan melupakan esensi islam yang sebenarnya. Serta kadang kala juga di temui sekelompok orang yang begitu membenci perbedaan (bisa di contohkan penentuan awal Ramadhan yang berbeda oleh Islam Muhammadiyah dengan Islamnya NU) dan memaksakan penunggalan, padahal karakteristik Islam Indonesia adalah moderat dan plural. Ada beberapa kasus yang dimana tafsiran keberagamaan yang berbeda kemudian melahirkan gesekan-gesekan kecil yang berpotensi melahirkan konflik laten. Sebab ramadhan adalah pesta merayakan kepedulian, maka segala hal yang memiliki keterkaitan personalia patut di hargai. Ramadhan acapkali menghadirkan jebakan, berupa lomba memperebutkan pahala hingga kita lupa pada hakikat ketaqwaan itu sendiri. Ramadhan telah menjadi topeng, untuk panggung ibadah yang imajiner, berharap semua orang bertepuk tangan atas abdi kita pada sang khalik, sementara kita sendiri kehilangan makna tertinggi dari puasa, asing dan sibuk pada citra. Semoga penyakit umat lekas sembuh, meski harapan itu hanya angan sebab sudah sedemikian akut sakitnya. setidaknya ada segelintir orang yang sadar akan keterbelakangan kita dalam bertuhan, semoga***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar