Minggu, 14 Juli 2013

Spartacus; catatan seorang penonton


"...tak ada yang lebih indah selain mati sebagai orang merdeka..."-Spartacus
Hegemoni pengetahuan mungkin akan begitu membesar-besar Roma zaman kuno Marcus Crassus, Julius Caesar, dan penguasa Pompey merupakan segelintir pemimpin yang memiliki nama besar di teks sejarah sekolahan, berbagai kebesarannya di umbar, serta kekuatan perang yang maha dahsyat. Tapi ada sosok yang di lupakan dunia dalam sejarah kerajaan Roma. Sebuah "nabi" bagi kaum budak sekaligus sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan. "Spartacus" sebuah nama yang di berikan oleh tuan-nya "Batiatus" sendiri yang bermakna "sang pembawa hujan". Menyaksikan filmnya, ibarat larut dalam pertarungan spaktakuler, adegan seks serta kematian sadis seolah menambah (ke)original(an) film ini, latar belakang yang menyerupai film glatiator 300. 
Film dengan durasi panjang ini (kurang lebih 24 jam dengan 4 bagian) seolah membawa kita pada alur sejarah yang tak maenstream, kedudukan budak yang dulunya hanya menjadi lahan eksploitatif berbagai kekejaman rakyat Roma, oleh Spartacus coba di labrak. Mulai dari kekuatan kecil dari wilayah Thracia hingga direklut sebagai gladiator handal di kediaman Batiatus di sekitaran wilayah Capua menjadi proses panjang perebutan kemerdekaan ini. Berawal dari kematian istri tercinta Sura, yang seolah mengubah alur hidupnya. Spirit (Sura)isme kemudian terus di pupuk sebagai ajang balas dendam hingga menjadi idelogi pembebasan kaum budak. Pada aspek organisir perlawanan Spartacus sangatt padu, membangun kekuatan dari bawa. memetakan kekuatan yang kala itu terdiri dari dua kubu, proses lobi dari lawan menjadi kawan, serta bargaining position yang nyaris tanpa cela. Hal ini bisa menjadi contoh gerakan mahasiswa di bangsa kita.
Menariknya Spartacus di lakonkan sebagai nabi yang berpaham "freewil" tak percaya dewa, dan berkeyakinan bahwa hanya usaha dengan tangan sendiri-lah yang kelak menuai hasil, bukan dengan doa-doa untuk sang dewa. Kebebasan harus di rebut dengan darah melimpah di bumi Capua, ungkapan yang sering di ulangi Spartacus guna membakar semangat pengikutnya. Bak seorang Nabi, kebijaksanaa dan karakter kepemimpinan yang akomotadif menjadi instrumen penting perlawanan. 
Konon awal perlawan kaum budak di mulai dari gerakan ini, bacaan sejarah yang tak lagi (di ingat) kembali di ceritakan dalam film ini. Kemapanan Roma sebagai kekuatan besar dulunya seolah menjadi  anti thesa pada film ini. Kompleksifitas cerita mulai dari kapitalisme, sosialisme, seksualitas, eksploitatif, organisir massa, imajinasi, serta banyak hal lagi yang di muncul di film ini. Meski sedikit kecewa di akhir cerita dengan purnya Spartacus di hadapan prajurit biasa, tidak akan mengurangi ketengan film ini. Anda akan di bawa berfantasi jauh di masa zilam, menemani Spartacus, Gannicus (gladiator pertama yang mendapatkan kemerdekaannya setelah menjadi pemenang di arena dan generasi I sebelum spartacus menjadi budak), Crixus (pemenang arena generasi II), Agron, Naevia, Oenamous, Nasir, Barca, Lucretia, Lythia, Glaber, Doctore,   Azur, dan semua budak merebut kemerdekaan, sekaligus mebaca sejarah sedemikian kritis. 
Film dengan kekuatan imajinasi yang kuat, bahkan menurut Penulis sendiri film terbaik yang pernah di lihat, membawa sejuta pesan. Kesetiaan cinta kepada Sura "sang istri", perlawan atas ketertindasan, organisasi gerakan yang luar biasa, perjuangan hidup yang berdarah-darah, serta berbagai pesan hidup bagi penonton akan menjadi oase penting di kehidupan kita. Menyaksikan Spartacus seolah sedang menamatkan buku, menyaksikannya seolah sedang meng-amini segala  bentuk perlawanan kaum mustadh'afin. Hiduplah kembali sang nabi yang terlupakan, ajari kami makna kebebasan seutuhnya, perlawan selalu menjadi jihad untuk kemanusiaan yang semoga semakin cerah, semoga ***

Lalu apa yang ingin ku tulis ?

Malam sedemikian bijak, relung imajinasi berulang kali menetap di khayal-khayal ini. ada yang padu ada pula yang ragu. tak ada yang bisa di buat, hanya sesekali mengecek hape, memastikan tak ada panggilan atau sekedar pesan singkat yang mungkin penting. Kembali malam, apakah hanya kesia-sian ini yang kau hidangankan ? tanya malam. Bukankah tuhan meminta kita membaca, bukankah Nabi meminta kita merenung, dan bukankah Pram selalu mengampanyekan gerakan menulis. Hati pun sedemikian gusar, membiarkan diri untuk tetap terdiam dengan khayalan yang kadang nakal. Lalu ku pastikan diri untuk berbuat, setelah ini apa ? tanya malam. Kembali diam adalah jawaban paling bijak untuk beberapa detik ke depan. Lalu ku putuskan untuk menulis. Mengapa menulis ? tanya malam kembali ( malam memang selalu cerewet perihal kesia-siaan kita, itu baik untuk pendewasaan diri, pankas ku dalam hati )
Lalu ku ambil laptop dan menulis tulisan ini, apa yang ku tulis ? bukan lagi malam yang bertanya tapi diri dalam diri. Hanya ke"sok tau" yang banyak dengan sedikit pengetahuan yang tak terpakai, ujar ku. Teringat pepatah "Show ! don't tell", banyak apologis yang kerap berkucuran di bibir ini, hanya sekedar keren-kerenan atau mungkin pembohong kepada audiens untuk menikmati citra, mungkin inilah dosa, tapi bukankah aktualisasi adalah kebutuhan manusia fitrawi sebagai mana thesis Abraham Maslow. Lalu ku putuskan untuk tak terlalu banyak berceloteh di kamar ini, saya seperti sedang di gurui makhluk yang meminta saya untuk menulis sekarang juga. Lalu apa yang ingin saya tulis ? pertanyaan itu yang acapkali mendulang di pikiran.
Teringat kemudian ketika perjumpaan perdana filsuf muda Al- Fayyadl (beberapa orang menyebutnya "the next Derrida", ada pula senior yang menyebut bahwa beliau adalah reinkarnasi pengetahuan Gusdur) di sekitaran Taman Mini Square. Hampir dua jam saya berdiskusi dengan beliau perihal sastra dan kebangsaan. Tapi yang menarik, beliau di sela-sela diskusinya mengeluarkan sepatah kalimat "menulis adalah keajaiban Kim" singkat cerita Sampai di sini pertemuan saya dengan filsuf muda ini. Lalu kembali ke Makassar dengan membawa beberapa tanda tanya besar.
Ku lanjutkan jari memainkan aksara ini dengan sebuah laptop murah hasil jerih yang memayah. Ku tulis apa saja yang melintas di pikiran, dengan struktur kata yang sangat hancur, tapi itu urusan kedua, intinya saya hanya ingin menulis. Kadang di anggap sampah, ada pula yang menyebut hanya celoteh dangkal tanpa makna. Saya terus saja mengetik kata perkata, kalimat per kalimat hingga membentuk beberapa paragraf yang mungkin bagi pembaca akan terlihat biasa-biasa saja, tapi bagi ku menindak lanjuti perkataan Al Fayyadl, sedang ku buat keajaiban ku sendiri, berharap kelak menjadi karya gemilang untuk diri dan beberapa orang sepakat pada perspektif sang bodoh ini ( baca: saya). Ku lanjutkan mengetik dengan sesekali ku daratkan suguhan kopi milik Ibu sebagai kawan berjaga di malam gigil ini. "menulis adalah sebuah keajaiban" ingat ku***

Teruntuk ayah paling laki

Dunia terus berpijar dengan atau tanpa kesiapan kita
Semuanya di gerus oleh kepentingan bejat sang pejabat
Inikah dunia yang menjanji senyuman ?
Lalu mengapa kita masih terluka
Dalih-nya ini semua adalah ujian
Ku bingkai beberapa nama
Ada lelaki yang terselip di antara banyak luka
Lelaki itu gemar ku sebut ayah
Sebut istilah yang sangat sakral untuk seorang manusia
Manusia yang sering ku ragukan sebagai malaikat
Ya malaikat, sentuhan nya adalah magis
Mengalahkan hiburan tv yang menertawakan dirinya sendiri
Lelaki kuat yang membawa segudang kasih
Ketulusannnya tak pernah mengenal angka
Baginya senyuman kita adalah hal teristimewa sebagai imbalan keringatnya
Iman untuk seorang ibu dan patutan sejati bagi kami anak-anaknya
Meski bangsa semakin akrab dengan duka
Di peluknya ada keteduhan yang berlipat ganda
Sosok ayah adalah hadiah terindah dari Tuhan azza wa jalla
Cemasnya kala kita sedang jauh dari peluknya
adalah seraut hal yang selalu di rindukan
ayah sungguh kami selalu manja di pangkuan mu
segala gigil malam menjadi sirna oleh segaris senyum tulus mu
menjadi anak mu adalah takdir terindah dari-Nya
kesyukuran yang gemar kamis sebut anugerah
jika esok masih menyisakan hari
ingin ku sebut nama mu berulang kali
ku katakan kita pernah tumbuh dewasa di samping mu
di ujarkan di mimbar kebesaran bahwa kami tak ada apa-apanya
engkau adalah sebab dari berbagai alasan senyum-senyum kami
engkau ayah yang paling laki

Ramadhan dan sekelumit topeng

Harus di akui bahwa dalam setahun ada sebulan yang di jalani masyarakat muslim di semua belahan dunia tak terkecuali Indonesia sebagai mayoritas Islam, melakukan transformasi spritualitas yang agak berbeda dengan hari-hari lainnya. Bulan itu di sebut ramadhan. Istilah bulan berkah penuh ampunan menjadi simbol yang sering kita dapati, memang sebagai muslim moment seperti ini selalu menjadi hal yang terindukan. Lipatan pahala serta segala macam bentuk kesalehan sosial maupun individu menjadi rutinitas yang akan di jumpai. Hal ini kemudian menjadi habitus oleh sejumlah orang yang tidak mau melewatkan keberkahan bulan seperti ini. Bisa anda saksikan begitu banyak tumpukan sendal yang menghiasi mesjid tiap malamnya, terutama di awal-awal ramadhan. Belum lagi sejumlah kemurahan hati untuk melakukan buka puasa bersama dengan mengharapkan pahala sama seperti orang yang berpuasa yang di beri makan.

Tapi takkala keberkahan Ramadhan kemudian tereduksi oleh sejumlah perilaku dalam interaksi ruang-ruang sosial. Banyak hal yang bisa kita temukan praktek-praktek keagamaan yang begitu kuat pada wilayah simbol tapi memiliki kedangkalan, sejumlah topeng kemudian di pakai agar justifikasi saleh bisa di dapatkan. Memang dalam pergulakan di wilayah sosial jebakan image menjadi hal yang terkadang perlu di perhatikan. Bagaimana kemudian kita lebih mementingkan kulit ketimbang isinya. Dalam pandangan mazhab interaksionalisme simbolik ada yang di sebut "dramaturgi" yang di populerkan oleh Erving Goffman (seorang sosiolog kelahiran Canada) bahwa menurut beliau kala manusia itu berada pada dua saat, yang pertama di sebut front region (panggung depan), kala inilah yang kemudian seseorang memainkan peranya dengan mengunakan topeng-topeng untuk menyelamatkan citranya dalam kaitannya dengan masyarakat luas. Sejumlah kepalsuan bisa saja di lakukan guna pencapai sosok ideal menurutnya. saat kedua di sebut back stage (belakang panggung), ini merupakan cerminan sikap asli dari individu dan biasanya hal ini hanya akan muncul ketika berada dalam lingkungan yang intim.Dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan nan berkah ini, sejumlah aksi maupun reaksi yang di lakukan oleh insan-insan yang seolah berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga bisa jadi dapat kita jumpai bagaimana dramaturgi ini dimainkan secara sistematis. Hal ini perlu juga kita analisis kaitannya dengan kepentingan politik 2014 yang meledak jumlah caleg dengan antrian panjang, seolah semua orang tak mau lagi jadi bawahan, mentalitas instan dalam berproses, maka jalan cepatnya adalah menyebarluaskan kepalsuan belaka semata dengan tidak di imbangi modal sosal serta akuntabilitas. Mengingat kultur masyarakat kita yang bercirikan ke-timur-an ini sangat mudah di kerus simpatinya dengan mengangkat tema-tema spiritualitas. Ada pula perilaku ABG yang kadang megundang pilu dengan sejumlah perilaku hedonisnya, seolah Ramadhan ini adalah bulan memadu kasih bersama lawan jenis di kala pagi dan malam dengan melempar sejuta pesona di jalan raya mirip pelacur tak laku.

Belum lagi kita temukan ada segelintir oknum yang mirip pendakwah (baca: pelawak mimbar) yang seolah memiliki otoritas penuh dalam penentuan kafir tidaknya seseorang. kutip mengutip ayat, hadits, atau sekedar apologi dangkal dengan melupakan esensi islam yang sebenarnya. Serta kadang kala juga di temui sekelompok orang yang begitu membenci perbedaan (bisa di contohkan penentuan awal Ramadhan yang berbeda oleh Islam Muhammadiyah dengan Islamnya NU) dan memaksakan penunggalan, padahal karakteristik Islam Indonesia adalah moderat dan plural. Ada beberapa kasus yang dimana tafsiran keberagamaan yang berbeda kemudian melahirkan gesekan-gesekan kecil yang berpotensi melahirkan konflik laten. Sebab ramadhan adalah pesta merayakan kepedulian, maka segala hal yang memiliki keterkaitan personalia patut di hargai. Ramadhan acapkali menghadirkan jebakan, berupa lomba memperebutkan pahala hingga kita lupa pada hakikat ketaqwaan itu sendiri. Ramadhan telah menjadi topeng, untuk panggung ibadah yang imajiner, berharap semua orang bertepuk tangan atas abdi kita pada sang khalik, sementara kita sendiri kehilangan makna tertinggi dari puasa, asing dan sibuk pada citra. Semoga penyakit umat lekas sembuh, meski harapan itu hanya angan sebab sudah sedemikian akut sakitnya. setidaknya ada segelintir orang yang sadar akan keterbelakangan kita dalam bertuhan, semoga***

Kamis, 11 Juli 2013

Bontoala (1) di Sebuah Ramadhan

Sebuah Ramadhan
Di lembah kota kusut kumuh penuh jelata
Di mesjid-mesjid luput rundung tak terurus
Anak-anak berpetasan meria seolah tanpa duka
Baginya puasa adalah tawa yang harus di rayakan dengan nyanyian ledakan
Kawula mudah bermesra subuh dengan kekasih
Bertukar peluk di antara bayang-bayang embun yang kudus
Baginya puasa adalah kesempatan untuk menjaling kasih tanpa batas
Mesra semesra-mesranya, seolah hidup perihal syahwat

Sebuah Ramadhan
Ibu-ibu berkoar di dapur dengan api yang tak menyala
Kadang berbuka dengan janji lalu sahur dengan doa
Berharap ada kehidupan yang lebih baik untuk cucunya kelak
Spiral kemiskinan menjeritkan kudus puasa
Bagaimana mau khusyuk kalau di luar puasa pun tetap kelaparan
Baginya ramadhan adalah pengulangan nasib semata
Keakraban dengan haus dahaga adalah realitas yang berkawan baik dengan rumah
Tak ada yang bisa di masak nak, semuanya mahal
Entah di negeri mana kita akan menemukan kondisi yang berpihak, entah

Sebuah Ramadhan
Kudus-Mu di wartakan tiap malamnya
Para papa yang di bebankan mengurusi uang pelanjut hidup
Berdiam di mesjid, dengan sungguh mengamini tiap doa ustadz
Berharap ada sepeser rupiah di selip sajadah setelah memohon
Tuhan kami butuh kasih-Mu saat ini
Tak ingin ku isi lagi malam ku dengan kelaparan yang berlanjut
Sungguh ingin ku pulang dari rumah-Mu dengan membawa senyuman
Hidangan sederhana untuk tawa anak istri tercinta yang telah lama menunggu

Sebuah Ramadhan
Tentang dhuafa hidup di sekitaran Bontoala
Kecamatan yang kotanya lebih memilih membesarkan beragam mall
Ketimbang berbagi santun untuk masyarakatnya
Kota dengan pemimpinnya yang hanya gemar menyapa
Saat pemilihan ingin berlangsung
Menjanji beragam senyuman lalu pergi begitu saja saat bertahta
Kota yang lebih memilih pembangunan atas pertimbangan pasar
Bontoala-ku pilu mu akan terus berlanjut oleh kota yang sedemikian cuek


"Lomba Menulis #PuisiKota Serikat Sastra Pinggiran"


Makassar, Juli 2013

(1) Bontoala adalah salah satu kecamatan termiskin bersama Tallo di wilayah kota Makassar dengan tingkat kepadatan penduduk yang menyesakkan.

Rabu, 10 Juli 2013

Aksara tentang alasan

Pulang lah dik
Malam sedemikian larut
Percakapan kita pun semakin akut
Tak ingin ku akhiri kata
Sebab sering ku dulang alasan
bercakap dengan mu
Berulang-ulang
Engkau menanya alasan mengapa
Nurani kadang ikut serta dik
Ada pesona yang ku sering temui
Di antara cela senyum mu
Berulang-ulang
 Tanya engkau gusar
Mengapa sedemikian pekat asa itu
Dik, engkau mungkin merana
Pada Tanya tentang mengapa
Jawab ku selalu liar
Ada teduh yang melambat
Berulang-ulang
Bisakah engkau menjadi cita ku ?
Dengan alasan yang tak perlu di rasionalkan
Engkau jelita dalam segala sudut
Raga kusut ku pun ikut melita
Engkau (ber)ulang-ulang
Alasan kadang ilutif dik
Saat menjerit perihal ketulusan
Dunia sudah sedemikian kabut
Disesaki kepentingan yang tak tahu malu
Berulang-ulang
Dik, alasan ku ada pada mu
Aksara ku mengulang
(ber)ulang-ulang
Perpustakaan 148, Juni 2013

Khayal tanpa bahan tanpa dahan

acap kali kita merenung
apa kira hidup ini
ke-tiada-an, ke-ada-an, lalu kembali tiada
sesaat mungkin banyak risau yang bisa di bincang
atau sekedar membagi lelah pada pena
ratap yang menatap gusar tiada henti
lalu kembali optimis pada senyum
kita seperti mainan
tertawa lalu di hibur
kemudian di injak-injak
tak ada bahan yang kekal
kesemuannya sementara
kita lalu menduga-duga
meraba pada gulita
acuh pada bising malam
tak peduli seberapa berarti
hanya sibuk bermasturbasi di pelataran
mungkin sedikit ilusi
oleh citra yang terus berisik
khayal ku pun semakin nyenyak
tanpa bahan tanpa dahan 
-perpustakaan 148, Juni 2013

Halaman perdana yang basah; catatan awal tahun

Entah aku menyebutnya apa, Makassar sejak  pagi ini terlihat begitu basah, banjir dan dingin adalah konsekuensi logis dalam guyuran hujan yang begitu serius pasca pesta pelepasan akhir tahun semalam. Seolah tak ada lagi aktifitas yang bisa di lakukan kecuali mengistirahat tubuh di kamar dan sesekali menikmati sisa-sisa makanan dari sang Ibu. Desember 2012 telah berakhir, banyak kenangan tentunya. Segaris senyum, bertumpuk pilu, serta ragam ekspresi yang muncul di tahun itu. Ada yang di kenang ada pula yang di lupakan. Yang jelasnya kita masing-masing adalah aktor yang sedang memainkan peran dalam dramaturgi kehidupan ini, mulai dari kejujuran, kesetiaan, kepalsuaan, keluguan, kemunafikan, dan berbagai hal yang menjadi identitas kemanusiaan kita yang (men)ciri. Sedikit capaian mungkin telah membuat bibir ini tersenyum, tapi jutaan impian masih saja gemar berada dalam imajinasi ini. Entah kapan semua impian itu men-nyata, yang jelasnya tak ada yang ideal di dunia ini, kadang dalam kesempurnaan pelangi pun kita temukan sedikit gersang dalam perwujudannya.
Hanya bisa memberi yang terbaik, sebab Tuhan-lah pemilik segala keputusan. Satu keyakin yang pasti, hanya yang bergerak-lah yang berpindah, hanya yang menanam-lah yang memetik, serta hanya yang berjalan-lah yang akan mencapai. Terus berkeringat (baca:berbuat) adalah upaya kehidupan agar kita tak terdegradasi dalam panggung hidup ini, sebab dunia tak membutuhkan mereka yang kerdil.  Di kutip dalam nasehat Siddhartha kepada pelacur bijak bernama Kamala “…setiap orang bisa mencapai tujuannya jika ia dapat berpikir, bersabar, dan berpuasa…”[1]. Isi pesannya sederhana, tiga kata kerja yang memiliki makna yang mendalam, paling tidak ada nilai yang ingin di sampaikan Beliau bahwa berbuat adalah sebab yang melahirkan akibat berupa pencapaian.
Hujan terus saja mengiring lembaran pertama di tahun 2013 ini, sesekali alam mengindikasikan akan segera redah tapi kemudian berlanjut dengan butiran air yang seolah sudah menunggu antrian dari balik awan itu. Hujan, salah satu seni alam yang mampu melahirkan sejuta komtemplatif dalam berbagai wujud. Band Rock legendari Gun n' Roses membuat sebuah lagu “November Rain”, ada Sapardi dengan “Hujan di Bulan Juni”nya, ada Film Layar lebar “Cinta Pertama” dengan menampilkan hujan sebagai salah satu instrument penyatu cinta mereka, atau sekedar status via-facebook atau twitter dengan hujan sebagai variabel utama dalam mengalau, mengingat, meng-waow (baca:ta'jub), atau ungkapan-ungkapan umum dalam jejaring sosial itu. Sangat asyik memang merefleksikan semuanya dengan moment yang sedikit tepat ini, berbagai hal yang berkaitan dengan universalitas kehidupan ini perlu segera di renungkan.
Antara kenangan dan dambaan, dua hal yang menjadi pembentuk ke-diri-an individu. Jika pilu menghampiri mu, entah dalam bentuk apa pun. Semisal cinta, dia yang tak lagi betah berdiri di samping mu, atau kah sosok tersayang (Ibu atau Ayah) yang tak lagi menemani ketatnya kehidupan, atau tsunami ekonomi yang semakin menjerit hati dan pikiran di tengah kebutuhan yang semakin meningkat, buku yang ingin di beli, uang kuliah yang  menghilang entah kemana, obsesi memiliki BB atau hape bermazhab android di benturkan dengan dompet yang bak padang pasir yang mengering, kebutuhan pulsa yang tak tercukup akhirnya miscol di mana-mana, serta berbagai hal yang semakin meningkatkan populasi mengalau di dunia. Kesemuanya itu adalah jalan menuju proses pendewasaan diri. Sebab perhiasaan emas membutuhkan api dan pukulan sehingga menjadi begitu indah.
Belum lagi dambaan (baca:cita-cita), 2013 adalah tahun dengan persaingan yang begitu ketat. Sebab secara kuantitatif bangsa ini jelas mengalami peningkatan, walaupun tak di iringi dengan kualitatif yang memadai. Tapi hal itu menujukkan bahwa seharusnya masing-masing kita sesegera mungkin menyiapkan bekal. Sebab gerbong kereta selalu saja berjalan begitu cepat sehingga ada beberapa orang tiap harinya tertinggal. Seleksi alam dalam tradisi darwinisme memang selau saja berlaku. Berbagai harap di tahun 2013 ini tentunya membutuhkan aksi nyata.  Study, Organisasi, Romantisme, Keluarga, Persahabtan, Masa Depan, Posisi Strategis, atau berbagai hal yang menjadi track line kehidupan lagi-lagi membutuhkan gerak agar menarik imajinasi itu ke dalam ruang nyata sehingga kita masing-masing bisa berpijar dengan kaki sendiri. Akhirnya, semoga segala dambaan di tahun 2013 sesegera mungkin menemani keberlangsungan hidup kita masing-masing, sebab bermimpi dan mengejarnya adalah dua identitas sehingga manusia bisa di katakan memanusia, bukan setumpuk tulang di selimuti daging berjalan di ruang-ruang social tanpa pernah bercita. Ibarat hujan yang begitu lebat, semangat juang tak sekedar ujaran mengebuh-gebuh,tapi nyata dalam ciri hidup kita. Sehingga masing-masing kita pun memang layak secara de facto dan de jure meraihi mimpi itu. SEMOGA***
                                                                                                                    at- Tinumbu 148



[1] Hermann Hesse dalam “Siddhartha”, Novelis asal Jerman peraih Nobel dalam dunia Sastra tahun 1946

Sebuah sore sebuah catatan

Di tengah sejuknya sore setelah pergolakan panjang mentari yang membakar kulit dan pikiran, kontemplatif mendalam Penulis terhadap suasana hati yang sedang mendung membuat inspirasi-inspirasi itu bermunculan, sehingga membentuk pola gagasan yang bisa sedikit di tawarkan untuk sekedar berbagi kreatifitas. Hal ini penting karena cara yang baik untuk sedih adalah dengan menuangkan kesedihan itu lewat tulisan yang kelak akan menjadi saksi kehidupan bahwa Penulis pernah hidup dalam warna yang tak tunggal. Ada banyak warna-warni yang menempeli hati ini, entah itu bahagia, suka, senang, sedih, duka, tawa, air mata, atau segala bentuk ekspresi hati yang tak tergambarkan, hanya bisa di rasakn oleh meraka yang memiliki “sense of education” secara praktisi bukan konsep semata.
Aktifitas hidup manusia yang penuh dengan setumpuk masalah menjadi “barang wajib” untuk menghiasi kehidupan yang menfana ini. Sebuah senyum harus-lah di temani beberapa duka sehingga kita bisa dapat mengambil sebuah pelajar betapa penting mengisi hidup dengan berbagai kreatifitas, kala sedih berharap badai itu segera berlalu dengan perjuang yang menguatkan dan saat senang saat itulah kita mengingat bahwa duka itu sedang dalam perjalan menemui kita, hal itu akan memicuh ruang-ruang membanal semakin menipis. Sangat utopis memang memandang kehidupan itu hanya sekedar ria semata, ada dimensi yang ternyata akan di lalui manusia. Walaupun semua orang membencinya, tapi dimensi itu selalu saja melibatkan diri di tengah aktifitas ideal yang di harapkan manusia. Sesuatu yang kita sebut “duka”, hal yang selalu saja menyelinap masuk di kehidupan kita tanpa memandang stratifikasi maupun diferensiasi individu itu. Jika “duka” itu di temukan oleh mereka yang tak pernah terlatih menemukan kesenggsaraan dan terbiasa dengan perlakuaan manja maka akan terlihat kacau. Dengan berbagai bentuk kemudahan yang di tawarkan dunia hari ini semakin merapuhkan diri sehingga.penguatan dari dalam diri menjadi agenda utama dewasa ini.
Sebuah kesyukuran besar sekaligus keterpurukan yang maha dahsyat –bahkan kondisi terendah yang pernah Penulis rasakan sejak menjadi manusia– sebuah pelajaran berharga yang bisa Penulis rasakan karena ini berkaitan erat dengan hati yang notabenenya adalah dimensi rahasia yang sangat mempengaruhi kinerja tubuh dan pikiran kita. Bagi mereka yang pernah merasakan hal serupa –masyarakat menyebutnya patah hati, pasti akan paham betul betapa luar biasanya pengaruh hati terhadap etos kerja seorang individu. Serta cara mengekspresikan kehidupan yang sangat memiluhkan. Bahkan kadang kala ada saja sosok manusia dangkal yang tega menjawab semuanya itu dengan darah dan mati. Itu untuk mereka yang dangkal, tapi bagi mereka yang memiliki kualitas mental dan diri yang stabil akan menjawabnya dengan sedikit tangis, secercah senyum, dan sejuta optimism yang terhampar. Sangat sulit memang duka itu di jalani, ibarat berjalan di atas tali yang terbakar tanpa mengunakan alas kaki sambil di hadapkan dengan ke-ngeri-an yang seolah akan selamanya di miliki. Ujaran “Duka-mu abadi” Sapardi bahwa kehidupan ini tak akan lepas dengan air mata itu, bahkan sosok-sosok besar semisal apapun di belahan dunia ini pasti telah mengalami duka dengan intensitas yang sangat luar biasa. Hal itu yang membuat mereka terlatih dengan mental yang mapan, cara seperti itu lah yang bisa di jadikan habitus untuk kita semua. Sekarang tergantung cara kita menjawab duka itu sehingga terlihat lebih indah, walaupun mengeroposkan semua hal tapi proses pendewasaan harus tetap berjalan.***

Selasa, 09 Juli 2013

Ramadhan yang mengada apa adanya

Perdebatan penentuan awal ramadhan menjadi identitas tersendiri bagi bangsa kita (mentradisi sejak era kebebasan di letupkan pasca orde baru), kebebasan berekspresi (baca:politik identitas)  menjadi hal yang melahirkan beragama cara dalam bertuhan. Tentu itu indah jikalau di kelolah secara santun, menempatkan diri sebagai hamba yang seragama dengan ragam yang kusut tentunya bukan cara yang bijak. Ramadhan yang hadir tahun memiliki cerita tersendiri, di masing-masing kita, selain penuh dengan hujan yang merindu ala Sapardi, atau sekedar tahun politik bagi sebagian besar masyarakat yang berdomisili di Makassar kaitan dengan pilwalkot September depan, atau mungkin dinamika keluarga masing-masing kita yang tak lagi riuh, di tinggal oleh sang ayah ibu atau sanak keluarga yang tahun sebelumnya masih bersama-sama dengan kita menjalani ramadhan yang kudus, sosok Gurutta “Allahu Yarham” yang telah purna bagi penulis sendiri menjadi pukulan telak ramadhan tahun ini, pengajiannya, nasehat-nasehatnya, atau sekedar doa untuk santri-santrinya takkan lagi berkisah di puasa ini, ada pilu yang bertumpuk pasca kepergian beliau. Bagi kami, menjadi santrinya adalah takdir terindah selama ini hidup ini.  Kondisi sosial yang juga semakin tak jelas aralnya, setumpuk harga yang melambung tinggi oleh implikasi naiknya harga BBM yang konon adalah alternative terakhir menyelamatkan APBN bangsa ini, konon. Dan semua hal yang menjadi alasan mengapa Ramadhan kali ini begitu unik. Dan tentunnya masing-masing kita punya cerita tersendiri perihal puasa ini.
Ya, inilah bangsa yang punya sekelumit cerita dalam berpuasa. Kekuasaan yang tak lagi menempatkan posisinya sebagai abdi masyarakat seolah menjadi hal yang wajar di sini, belum lagi keberagamaan yang seagama di hiasi dengan kebencian yang meluka, kasus terakhir menimpah saudara kita yang di justifikasi sesat karena berlabel Syiah, padahal keberislaman di Indonesia kita melibatkan dua kekuatan yang elok Sunni-Syiah, banyak tradisi bugis Makassar yang oase itu punya kaitan jelas dengan Syiah[1]. Berbagai problem lahir oleh kesombong sebagian umat yang dengan (tega)nya mengambil alih pekerjaan Tuhan dalam menentukan posisi  kafir-beriman, surga-neraka, sesat-selamat, atau pun berbagai hal yang mengekspresikan kesombongan kita, bukankah tuhan selalu meminta untuk tidak di bela.
Belum lagi penafsiran berbagai teks suci yang mengutamakan kebencian dan pentungan dalam bersyiar, inikan menyalahi prinsip berislam yang di bawa oleh Rasul kita nabi Muhammad SAW denga track line “Islam Rahmatal Lilalamin”, Generasi kedua  mazhab Frankfurt Erich Froom pernah berujar bahwa bertuhan tanpa mecintai kemanusiaan adalah ibarat menyembah berhala, prinsip inilah yang selalu di gulirkan oleh mereka yang berislam secara santun dan penuh senyuman. Tak lagi meneriakan Allahu akbar sambil melempar batu. Atau mendefenisikan jihad dengan bom dan kematian jutaan orang, atau berbagai hal yang melucuti kasih sayang tuhan pada hambanya, entah itu yang di labeli beriman atau pun tidak
Ramadhan yang mengada apa adanya adalah sebuah benang kusut yang bercerita tentang bangsa latah yang notabenenya adalah pemiliki mayoritas muslim terbesar di dunia, kekayaan alam yang melimpah dengan pengemis yang tak langkah di temui di jalan-jalan raya, kepemimpinan ala sibeye yang sedikit lambat dengan album lagu yang merambat ke mana-mana, busuk oleh citra semata dengan tingkat, Tingkat konsumerisme yang melambung tinggi di puasa ramadhan, padahal esensi puasa adalah bisa merasa apa yang menjadi karib akrab para miskin jelata, kelaparan, kehausan, jauh dari zona nyaman, dan berbagai penderitaan lainnya. Uniknya puasa justru menjadi moment pamer topeng, berbagi citra, atau semacam kedangkalan yang terstruktur. Ini semua menjadi pernik ramadhan di bangsa ini, bangsa yang bertubi-tubi di rundung berbagai duka luka, bangsa yang membiarkan tetangganya lapar haus, mati lalu di liput media, bangsa yang mayoritas pengambil kebijakannya senang dan tenang “beronani”   ada keluh yang tersirat, tapi rerumputan pun hanya diam saat di tanya, hujan acuh pada keadaan,  ada apa dan kenapa. Semoga ramdhan tahun ini menjadi sebuah lokomotif utama bangsa untuk semakin menjadi bangsa yang mendewasa, belajar dari proses untuk terus melebarkan harapan ke arah mimp-imimpi “itu”. Islam tak baku, di pahami secara substantif, kontekstual, humanis, dan beragam keramahan lainnya, semoga***




[1] Bacaan mendalam korelasi Sunni-Syiah bisa di dapatkan di Quraish Shihab “Sunnah- Syiah; Bergandengan Tangan, Mungkinkah ?”