Rabu, 10 Juli 2013

Halaman perdana yang basah; catatan awal tahun

Entah aku menyebutnya apa, Makassar sejak  pagi ini terlihat begitu basah, banjir dan dingin adalah konsekuensi logis dalam guyuran hujan yang begitu serius pasca pesta pelepasan akhir tahun semalam. Seolah tak ada lagi aktifitas yang bisa di lakukan kecuali mengistirahat tubuh di kamar dan sesekali menikmati sisa-sisa makanan dari sang Ibu. Desember 2012 telah berakhir, banyak kenangan tentunya. Segaris senyum, bertumpuk pilu, serta ragam ekspresi yang muncul di tahun itu. Ada yang di kenang ada pula yang di lupakan. Yang jelasnya kita masing-masing adalah aktor yang sedang memainkan peran dalam dramaturgi kehidupan ini, mulai dari kejujuran, kesetiaan, kepalsuaan, keluguan, kemunafikan, dan berbagai hal yang menjadi identitas kemanusiaan kita yang (men)ciri. Sedikit capaian mungkin telah membuat bibir ini tersenyum, tapi jutaan impian masih saja gemar berada dalam imajinasi ini. Entah kapan semua impian itu men-nyata, yang jelasnya tak ada yang ideal di dunia ini, kadang dalam kesempurnaan pelangi pun kita temukan sedikit gersang dalam perwujudannya.
Hanya bisa memberi yang terbaik, sebab Tuhan-lah pemilik segala keputusan. Satu keyakin yang pasti, hanya yang bergerak-lah yang berpindah, hanya yang menanam-lah yang memetik, serta hanya yang berjalan-lah yang akan mencapai. Terus berkeringat (baca:berbuat) adalah upaya kehidupan agar kita tak terdegradasi dalam panggung hidup ini, sebab dunia tak membutuhkan mereka yang kerdil.  Di kutip dalam nasehat Siddhartha kepada pelacur bijak bernama Kamala “…setiap orang bisa mencapai tujuannya jika ia dapat berpikir, bersabar, dan berpuasa…”[1]. Isi pesannya sederhana, tiga kata kerja yang memiliki makna yang mendalam, paling tidak ada nilai yang ingin di sampaikan Beliau bahwa berbuat adalah sebab yang melahirkan akibat berupa pencapaian.
Hujan terus saja mengiring lembaran pertama di tahun 2013 ini, sesekali alam mengindikasikan akan segera redah tapi kemudian berlanjut dengan butiran air yang seolah sudah menunggu antrian dari balik awan itu. Hujan, salah satu seni alam yang mampu melahirkan sejuta komtemplatif dalam berbagai wujud. Band Rock legendari Gun n' Roses membuat sebuah lagu “November Rain”, ada Sapardi dengan “Hujan di Bulan Juni”nya, ada Film Layar lebar “Cinta Pertama” dengan menampilkan hujan sebagai salah satu instrument penyatu cinta mereka, atau sekedar status via-facebook atau twitter dengan hujan sebagai variabel utama dalam mengalau, mengingat, meng-waow (baca:ta'jub), atau ungkapan-ungkapan umum dalam jejaring sosial itu. Sangat asyik memang merefleksikan semuanya dengan moment yang sedikit tepat ini, berbagai hal yang berkaitan dengan universalitas kehidupan ini perlu segera di renungkan.
Antara kenangan dan dambaan, dua hal yang menjadi pembentuk ke-diri-an individu. Jika pilu menghampiri mu, entah dalam bentuk apa pun. Semisal cinta, dia yang tak lagi betah berdiri di samping mu, atau kah sosok tersayang (Ibu atau Ayah) yang tak lagi menemani ketatnya kehidupan, atau tsunami ekonomi yang semakin menjerit hati dan pikiran di tengah kebutuhan yang semakin meningkat, buku yang ingin di beli, uang kuliah yang  menghilang entah kemana, obsesi memiliki BB atau hape bermazhab android di benturkan dengan dompet yang bak padang pasir yang mengering, kebutuhan pulsa yang tak tercukup akhirnya miscol di mana-mana, serta berbagai hal yang semakin meningkatkan populasi mengalau di dunia. Kesemuanya itu adalah jalan menuju proses pendewasaan diri. Sebab perhiasaan emas membutuhkan api dan pukulan sehingga menjadi begitu indah.
Belum lagi dambaan (baca:cita-cita), 2013 adalah tahun dengan persaingan yang begitu ketat. Sebab secara kuantitatif bangsa ini jelas mengalami peningkatan, walaupun tak di iringi dengan kualitatif yang memadai. Tapi hal itu menujukkan bahwa seharusnya masing-masing kita sesegera mungkin menyiapkan bekal. Sebab gerbong kereta selalu saja berjalan begitu cepat sehingga ada beberapa orang tiap harinya tertinggal. Seleksi alam dalam tradisi darwinisme memang selau saja berlaku. Berbagai harap di tahun 2013 ini tentunya membutuhkan aksi nyata.  Study, Organisasi, Romantisme, Keluarga, Persahabtan, Masa Depan, Posisi Strategis, atau berbagai hal yang menjadi track line kehidupan lagi-lagi membutuhkan gerak agar menarik imajinasi itu ke dalam ruang nyata sehingga kita masing-masing bisa berpijar dengan kaki sendiri. Akhirnya, semoga segala dambaan di tahun 2013 sesegera mungkin menemani keberlangsungan hidup kita masing-masing, sebab bermimpi dan mengejarnya adalah dua identitas sehingga manusia bisa di katakan memanusia, bukan setumpuk tulang di selimuti daging berjalan di ruang-ruang social tanpa pernah bercita. Ibarat hujan yang begitu lebat, semangat juang tak sekedar ujaran mengebuh-gebuh,tapi nyata dalam ciri hidup kita. Sehingga masing-masing kita pun memang layak secara de facto dan de jure meraihi mimpi itu. SEMOGA***
                                                                                                                    at- Tinumbu 148



[1] Hermann Hesse dalam “Siddhartha”, Novelis asal Jerman peraih Nobel dalam dunia Sastra tahun 1946

Tidak ada komentar:

Posting Komentar