Minggu, 14 Juli 2013

Lalu apa yang ingin ku tulis ?

Malam sedemikian bijak, relung imajinasi berulang kali menetap di khayal-khayal ini. ada yang padu ada pula yang ragu. tak ada yang bisa di buat, hanya sesekali mengecek hape, memastikan tak ada panggilan atau sekedar pesan singkat yang mungkin penting. Kembali malam, apakah hanya kesia-sian ini yang kau hidangankan ? tanya malam. Bukankah tuhan meminta kita membaca, bukankah Nabi meminta kita merenung, dan bukankah Pram selalu mengampanyekan gerakan menulis. Hati pun sedemikian gusar, membiarkan diri untuk tetap terdiam dengan khayalan yang kadang nakal. Lalu ku pastikan diri untuk berbuat, setelah ini apa ? tanya malam. Kembali diam adalah jawaban paling bijak untuk beberapa detik ke depan. Lalu ku putuskan untuk menulis. Mengapa menulis ? tanya malam kembali ( malam memang selalu cerewet perihal kesia-siaan kita, itu baik untuk pendewasaan diri, pankas ku dalam hati )
Lalu ku ambil laptop dan menulis tulisan ini, apa yang ku tulis ? bukan lagi malam yang bertanya tapi diri dalam diri. Hanya ke"sok tau" yang banyak dengan sedikit pengetahuan yang tak terpakai, ujar ku. Teringat pepatah "Show ! don't tell", banyak apologis yang kerap berkucuran di bibir ini, hanya sekedar keren-kerenan atau mungkin pembohong kepada audiens untuk menikmati citra, mungkin inilah dosa, tapi bukankah aktualisasi adalah kebutuhan manusia fitrawi sebagai mana thesis Abraham Maslow. Lalu ku putuskan untuk tak terlalu banyak berceloteh di kamar ini, saya seperti sedang di gurui makhluk yang meminta saya untuk menulis sekarang juga. Lalu apa yang ingin saya tulis ? pertanyaan itu yang acapkali mendulang di pikiran.
Teringat kemudian ketika perjumpaan perdana filsuf muda Al- Fayyadl (beberapa orang menyebutnya "the next Derrida", ada pula senior yang menyebut bahwa beliau adalah reinkarnasi pengetahuan Gusdur) di sekitaran Taman Mini Square. Hampir dua jam saya berdiskusi dengan beliau perihal sastra dan kebangsaan. Tapi yang menarik, beliau di sela-sela diskusinya mengeluarkan sepatah kalimat "menulis adalah keajaiban Kim" singkat cerita Sampai di sini pertemuan saya dengan filsuf muda ini. Lalu kembali ke Makassar dengan membawa beberapa tanda tanya besar.
Ku lanjutkan jari memainkan aksara ini dengan sebuah laptop murah hasil jerih yang memayah. Ku tulis apa saja yang melintas di pikiran, dengan struktur kata yang sangat hancur, tapi itu urusan kedua, intinya saya hanya ingin menulis. Kadang di anggap sampah, ada pula yang menyebut hanya celoteh dangkal tanpa makna. Saya terus saja mengetik kata perkata, kalimat per kalimat hingga membentuk beberapa paragraf yang mungkin bagi pembaca akan terlihat biasa-biasa saja, tapi bagi ku menindak lanjuti perkataan Al Fayyadl, sedang ku buat keajaiban ku sendiri, berharap kelak menjadi karya gemilang untuk diri dan beberapa orang sepakat pada perspektif sang bodoh ini ( baca: saya). Ku lanjutkan mengetik dengan sesekali ku daratkan suguhan kopi milik Ibu sebagai kawan berjaga di malam gigil ini. "menulis adalah sebuah keajaiban" ingat ku***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar