Perdebatan
penentuan awal ramadhan menjadi identitas tersendiri bagi bangsa kita
(mentradisi sejak era kebebasan di letupkan pasca orde baru), kebebasan
berekspresi (baca:politik identitas) menjadi hal yang melahirkan beragama cara
dalam bertuhan. Tentu itu indah jikalau di kelolah secara santun, menempatkan
diri sebagai hamba yang seragama dengan ragam yang kusut tentunya bukan cara
yang bijak. Ramadhan yang hadir tahun memiliki cerita tersendiri, di
masing-masing kita, selain penuh dengan hujan yang merindu ala Sapardi, atau
sekedar tahun politik bagi sebagian besar masyarakat yang berdomisili di
Makassar kaitan dengan pilwalkot September depan, atau mungkin dinamika
keluarga masing-masing kita yang tak lagi riuh, di tinggal oleh sang ayah ibu
atau sanak keluarga yang tahun sebelumnya masih bersama-sama dengan kita
menjalani ramadhan yang kudus, sosok Gurutta “Allahu Yarham” yang telah purna
bagi penulis sendiri menjadi pukulan telak ramadhan tahun ini, pengajiannya,
nasehat-nasehatnya, atau sekedar doa untuk santri-santrinya takkan lagi
berkisah di puasa ini, ada pilu yang bertumpuk pasca kepergian beliau. Bagi
kami, menjadi santrinya adalah takdir terindah selama ini hidup ini. Kondisi sosial yang juga semakin tak jelas
aralnya, setumpuk harga yang melambung tinggi oleh implikasi naiknya harga BBM
yang konon adalah alternative terakhir menyelamatkan APBN bangsa ini, konon.
Dan semua hal yang menjadi alasan mengapa Ramadhan kali ini begitu unik. Dan
tentunnya masing-masing kita punya cerita tersendiri perihal puasa ini.
Ya,
inilah bangsa yang punya sekelumit cerita dalam berpuasa. Kekuasaan yang tak
lagi menempatkan posisinya sebagai abdi masyarakat seolah menjadi hal yang
wajar di sini, belum lagi keberagamaan yang seagama di hiasi dengan kebencian
yang meluka, kasus terakhir menimpah saudara kita yang di justifikasi sesat
karena berlabel Syiah, padahal keberislaman di Indonesia kita melibatkan dua
kekuatan yang elok Sunni-Syiah, banyak tradisi bugis Makassar yang oase itu
punya kaitan jelas dengan Syiah[1].
Berbagai problem lahir oleh kesombong sebagian umat yang dengan (tega)nya
mengambil alih pekerjaan Tuhan dalam menentukan posisi kafir-beriman, surga-neraka, sesat-selamat,
atau pun berbagai hal yang mengekspresikan kesombongan kita, bukankah tuhan
selalu meminta untuk tidak di bela.
Belum
lagi penafsiran berbagai teks suci yang mengutamakan kebencian dan pentungan dalam
bersyiar, inikan menyalahi prinsip berislam yang di bawa oleh Rasul kita nabi
Muhammad SAW denga track line “Islam Rahmatal Lilalamin”, Generasi kedua mazhab Frankfurt Erich Froom pernah berujar bahwa bertuhan tanpa mecintai kemanusiaan adalah
ibarat menyembah berhala, prinsip inilah yang selalu di gulirkan oleh mereka
yang berislam secara santun dan penuh senyuman. Tak lagi meneriakan Allahu
akbar sambil melempar batu. Atau mendefenisikan jihad dengan bom dan kematian
jutaan orang, atau berbagai hal yang melucuti kasih sayang tuhan pada hambanya,
entah itu yang di labeli beriman atau pun tidak
Ramadhan
yang mengada apa adanya adalah sebuah benang kusut yang bercerita tentang
bangsa latah yang notabenenya adalah pemiliki mayoritas muslim terbesar di
dunia, kekayaan alam yang melimpah dengan pengemis yang tak langkah di temui di
jalan-jalan raya, kepemimpinan ala sibeye yang sedikit lambat dengan album lagu
yang merambat ke mana-mana, busuk oleh citra semata dengan tingkat, Tingkat
konsumerisme yang melambung tinggi di puasa ramadhan, padahal esensi puasa
adalah bisa merasa apa yang menjadi karib akrab para miskin jelata, kelaparan,
kehausan, jauh dari zona nyaman, dan berbagai penderitaan lainnya. Uniknya
puasa justru menjadi moment pamer topeng, berbagi citra, atau semacam
kedangkalan yang terstruktur. Ini semua menjadi pernik ramadhan di bangsa ini,
bangsa yang bertubi-tubi di rundung berbagai duka luka, bangsa yang membiarkan
tetangganya lapar haus, mati lalu di liput media, bangsa yang mayoritas
pengambil kebijakannya senang dan tenang “beronani” ada
keluh yang tersirat, tapi rerumputan pun hanya diam saat di tanya, hujan acuh
pada keadaan, ada apa dan kenapa. Semoga
ramdhan tahun ini menjadi sebuah lokomotif utama bangsa untuk semakin menjadi
bangsa yang mendewasa, belajar dari proses untuk terus melebarkan harapan ke
arah mimp-imimpi “itu”. Islam tak baku, di pahami secara substantif,
kontekstual, humanis, dan beragam keramahan lainnya, semoga***
[1]
Bacaan mendalam korelasi Sunni-Syiah bisa di dapatkan di Quraish Shihab “Sunnah- Syiah; Bergandengan Tangan, Mungkinkah
?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar