Selasa, 09 Juli 2013

Ramadhan yang mengada apa adanya

Perdebatan penentuan awal ramadhan menjadi identitas tersendiri bagi bangsa kita (mentradisi sejak era kebebasan di letupkan pasca orde baru), kebebasan berekspresi (baca:politik identitas)  menjadi hal yang melahirkan beragama cara dalam bertuhan. Tentu itu indah jikalau di kelolah secara santun, menempatkan diri sebagai hamba yang seragama dengan ragam yang kusut tentunya bukan cara yang bijak. Ramadhan yang hadir tahun memiliki cerita tersendiri, di masing-masing kita, selain penuh dengan hujan yang merindu ala Sapardi, atau sekedar tahun politik bagi sebagian besar masyarakat yang berdomisili di Makassar kaitan dengan pilwalkot September depan, atau mungkin dinamika keluarga masing-masing kita yang tak lagi riuh, di tinggal oleh sang ayah ibu atau sanak keluarga yang tahun sebelumnya masih bersama-sama dengan kita menjalani ramadhan yang kudus, sosok Gurutta “Allahu Yarham” yang telah purna bagi penulis sendiri menjadi pukulan telak ramadhan tahun ini, pengajiannya, nasehat-nasehatnya, atau sekedar doa untuk santri-santrinya takkan lagi berkisah di puasa ini, ada pilu yang bertumpuk pasca kepergian beliau. Bagi kami, menjadi santrinya adalah takdir terindah selama ini hidup ini.  Kondisi sosial yang juga semakin tak jelas aralnya, setumpuk harga yang melambung tinggi oleh implikasi naiknya harga BBM yang konon adalah alternative terakhir menyelamatkan APBN bangsa ini, konon. Dan semua hal yang menjadi alasan mengapa Ramadhan kali ini begitu unik. Dan tentunnya masing-masing kita punya cerita tersendiri perihal puasa ini.
Ya, inilah bangsa yang punya sekelumit cerita dalam berpuasa. Kekuasaan yang tak lagi menempatkan posisinya sebagai abdi masyarakat seolah menjadi hal yang wajar di sini, belum lagi keberagamaan yang seagama di hiasi dengan kebencian yang meluka, kasus terakhir menimpah saudara kita yang di justifikasi sesat karena berlabel Syiah, padahal keberislaman di Indonesia kita melibatkan dua kekuatan yang elok Sunni-Syiah, banyak tradisi bugis Makassar yang oase itu punya kaitan jelas dengan Syiah[1]. Berbagai problem lahir oleh kesombong sebagian umat yang dengan (tega)nya mengambil alih pekerjaan Tuhan dalam menentukan posisi  kafir-beriman, surga-neraka, sesat-selamat, atau pun berbagai hal yang mengekspresikan kesombongan kita, bukankah tuhan selalu meminta untuk tidak di bela.
Belum lagi penafsiran berbagai teks suci yang mengutamakan kebencian dan pentungan dalam bersyiar, inikan menyalahi prinsip berislam yang di bawa oleh Rasul kita nabi Muhammad SAW denga track line “Islam Rahmatal Lilalamin”, Generasi kedua  mazhab Frankfurt Erich Froom pernah berujar bahwa bertuhan tanpa mecintai kemanusiaan adalah ibarat menyembah berhala, prinsip inilah yang selalu di gulirkan oleh mereka yang berislam secara santun dan penuh senyuman. Tak lagi meneriakan Allahu akbar sambil melempar batu. Atau mendefenisikan jihad dengan bom dan kematian jutaan orang, atau berbagai hal yang melucuti kasih sayang tuhan pada hambanya, entah itu yang di labeli beriman atau pun tidak
Ramadhan yang mengada apa adanya adalah sebuah benang kusut yang bercerita tentang bangsa latah yang notabenenya adalah pemiliki mayoritas muslim terbesar di dunia, kekayaan alam yang melimpah dengan pengemis yang tak langkah di temui di jalan-jalan raya, kepemimpinan ala sibeye yang sedikit lambat dengan album lagu yang merambat ke mana-mana, busuk oleh citra semata dengan tingkat, Tingkat konsumerisme yang melambung tinggi di puasa ramadhan, padahal esensi puasa adalah bisa merasa apa yang menjadi karib akrab para miskin jelata, kelaparan, kehausan, jauh dari zona nyaman, dan berbagai penderitaan lainnya. Uniknya puasa justru menjadi moment pamer topeng, berbagi citra, atau semacam kedangkalan yang terstruktur. Ini semua menjadi pernik ramadhan di bangsa ini, bangsa yang bertubi-tubi di rundung berbagai duka luka, bangsa yang membiarkan tetangganya lapar haus, mati lalu di liput media, bangsa yang mayoritas pengambil kebijakannya senang dan tenang “beronani”   ada keluh yang tersirat, tapi rerumputan pun hanya diam saat di tanya, hujan acuh pada keadaan,  ada apa dan kenapa. Semoga ramdhan tahun ini menjadi sebuah lokomotif utama bangsa untuk semakin menjadi bangsa yang mendewasa, belajar dari proses untuk terus melebarkan harapan ke arah mimp-imimpi “itu”. Islam tak baku, di pahami secara substantif, kontekstual, humanis, dan beragam keramahan lainnya, semoga***




[1] Bacaan mendalam korelasi Sunni-Syiah bisa di dapatkan di Quraish Shihab “Sunnah- Syiah; Bergandengan Tangan, Mungkinkah ?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar