Rabu, 10 Juli 2013

Sebuah sore sebuah catatan

Di tengah sejuknya sore setelah pergolakan panjang mentari yang membakar kulit dan pikiran, kontemplatif mendalam Penulis terhadap suasana hati yang sedang mendung membuat inspirasi-inspirasi itu bermunculan, sehingga membentuk pola gagasan yang bisa sedikit di tawarkan untuk sekedar berbagi kreatifitas. Hal ini penting karena cara yang baik untuk sedih adalah dengan menuangkan kesedihan itu lewat tulisan yang kelak akan menjadi saksi kehidupan bahwa Penulis pernah hidup dalam warna yang tak tunggal. Ada banyak warna-warni yang menempeli hati ini, entah itu bahagia, suka, senang, sedih, duka, tawa, air mata, atau segala bentuk ekspresi hati yang tak tergambarkan, hanya bisa di rasakn oleh meraka yang memiliki “sense of education” secara praktisi bukan konsep semata.
Aktifitas hidup manusia yang penuh dengan setumpuk masalah menjadi “barang wajib” untuk menghiasi kehidupan yang menfana ini. Sebuah senyum harus-lah di temani beberapa duka sehingga kita bisa dapat mengambil sebuah pelajar betapa penting mengisi hidup dengan berbagai kreatifitas, kala sedih berharap badai itu segera berlalu dengan perjuang yang menguatkan dan saat senang saat itulah kita mengingat bahwa duka itu sedang dalam perjalan menemui kita, hal itu akan memicuh ruang-ruang membanal semakin menipis. Sangat utopis memang memandang kehidupan itu hanya sekedar ria semata, ada dimensi yang ternyata akan di lalui manusia. Walaupun semua orang membencinya, tapi dimensi itu selalu saja melibatkan diri di tengah aktifitas ideal yang di harapkan manusia. Sesuatu yang kita sebut “duka”, hal yang selalu saja menyelinap masuk di kehidupan kita tanpa memandang stratifikasi maupun diferensiasi individu itu. Jika “duka” itu di temukan oleh mereka yang tak pernah terlatih menemukan kesenggsaraan dan terbiasa dengan perlakuaan manja maka akan terlihat kacau. Dengan berbagai bentuk kemudahan yang di tawarkan dunia hari ini semakin merapuhkan diri sehingga.penguatan dari dalam diri menjadi agenda utama dewasa ini.
Sebuah kesyukuran besar sekaligus keterpurukan yang maha dahsyat –bahkan kondisi terendah yang pernah Penulis rasakan sejak menjadi manusia– sebuah pelajaran berharga yang bisa Penulis rasakan karena ini berkaitan erat dengan hati yang notabenenya adalah dimensi rahasia yang sangat mempengaruhi kinerja tubuh dan pikiran kita. Bagi mereka yang pernah merasakan hal serupa –masyarakat menyebutnya patah hati, pasti akan paham betul betapa luar biasanya pengaruh hati terhadap etos kerja seorang individu. Serta cara mengekspresikan kehidupan yang sangat memiluhkan. Bahkan kadang kala ada saja sosok manusia dangkal yang tega menjawab semuanya itu dengan darah dan mati. Itu untuk mereka yang dangkal, tapi bagi mereka yang memiliki kualitas mental dan diri yang stabil akan menjawabnya dengan sedikit tangis, secercah senyum, dan sejuta optimism yang terhampar. Sangat sulit memang duka itu di jalani, ibarat berjalan di atas tali yang terbakar tanpa mengunakan alas kaki sambil di hadapkan dengan ke-ngeri-an yang seolah akan selamanya di miliki. Ujaran “Duka-mu abadi” Sapardi bahwa kehidupan ini tak akan lepas dengan air mata itu, bahkan sosok-sosok besar semisal apapun di belahan dunia ini pasti telah mengalami duka dengan intensitas yang sangat luar biasa. Hal itu yang membuat mereka terlatih dengan mental yang mapan, cara seperti itu lah yang bisa di jadikan habitus untuk kita semua. Sekarang tergantung cara kita menjawab duka itu sehingga terlihat lebih indah, walaupun mengeroposkan semua hal tapi proses pendewasaan harus tetap berjalan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar